DESA
Kebarepan Kecamatan Plumbon Kabupaten Cirebon, berada di jalur utama
Cirebon-Jakarta dan Cirebon-Bandung. Sekitar 12 kilometer dari pusat
pemerintahan Kabupaten Cirebon. Desa Kebarepan termasuk salah satu desa
di Kecamatan Plumbon yang masyarakatnya memiliki keahlian khusus,
membuat sandal atau membuat kursi dari ban bekas.
Sekitar tahun 1998, nama Desa Kebarepan terkenal di kalangan
pengusaha Afrika dan negara Timur Tengah lainnya. Bagaimana tidak?
Keahlian masyarakatnya membuat sandal dengan beragam warna dan bahan
dasarnya dari plastik/karet bekas, membuahkan hasil yang luar biasa bagi
peningkatan ekonomi masyarakat sekitar.
“Setidaknya pada tahun itulah pengusaha sandal yang tertarik dengan
ajakan pengusaha Afrika dan negara Timur Tengah lainnya untuk membuat
sandal sebanyak-banyaknya dan menjual dengan harga murah kepada mereka,
benar-benar dilimpahi keuntungan. Tidak sedikit masyarakat yang tertarik
ke dalam bisnis ini. Dari pengusaha besar sampai mereka yang hanya
mampu bermain di home industry. Semuanya hampir rata mendapat
penghasilan yang berlimpah karena pesanan pengusaha Afrika,” tutur Wawan
Ermawan salah seorang pengusaha sandal kebarepan dari Industri Zebra
Mandiri.
Akibat tingginya pesanan dari para pengusaha Afrika, para pengusaha
sandal kebarepan nyaris tak menyentuh pasar lokal. Mereka mengabaikan
pesanan dari pasar lokal. Semua perhatian dan konsentrasi hanya jatuh
untuk memenuhi pesanan dari para pengusaha Afrika dan negara Timur
Tengah lainnya.
Di masa jayanya, tutur Wawan, salah seorang pengusaha Didi (almarhum)
sempat mengenyam manisnya pesanan dari Afrika, bahkan keberhasilan itu
meningkat tajam pada kondisi ekonominya yang sangat mapan. Sayangnya,
anak-anaknya tidak tertarik untuk meneruskan usahanya. “Dari beliaulah
kami berguru keterampilan membuat sandal,” kata Wawan. Kejayaan sandal
kebarepan mencapai puncaknya pada tahun 1999. “Bahkan saat permintaan
para pengusaha Afrika semakin tinggi dan unsur kualitas tidak lagi jadi
bahan pertimbangan, para pengusaha sandal kebarepan terus saja
memenuhinya. Dari sinilah titik kejatuhan dimulai, setelah para
pengusaha dari Timur Tengah tidak lagi menjatuhkan pesanan pada sandal
kebarepan. Berbarengan dengan itu, jatuh pula para pengusaha sandal
kebarepan termasuk home industry yang awalnya hanya memenuhi pesanan
untuk ekspor,” kata Wawan yang sejak awal mendirikan usaha tahun 1991,
tidak tertarik untuk bermain di pasar ekspor.
Seiring dengan semakin langkanya pesanan dari Timur Tengah dan tidak
tergarapnya pasar lokal, satu persatu pengusaha dan home industry sandal
di Desa Kebarepan hancur.
Kehancuran itu berlanjut dengan mulai maraknya pengusaha sejenis di
Bogor dan Bandung serta kota-kota lainnya. Perajinnya, tentu saja warga
Desa Kebarepan yang telah memiliki keahlian terhantam kehancuran karena
tidak lagi memiliki pasar dan pembeli.
“Kondisi ini hampir merata dialami para pengusaha dan home industry
sandal yang semula hanya mengandalkan pasar ekspor. Kalaupun sekarang
ini produksi sandal kebarepan masih bertahan itu pun jumlahnya sudah
sangat sedikit. Bahkan, hanya ada beberapa home industry yang membuat
satu jenis sandal saja, untuk kepentingan hotel,” tutur Wawan yang
akhirnya menuai hikmah dari ketidakikutsertaannya bermain di pasar
ekspor.
Diakui Wawan, dengan konsisten bermain di pasar lokal, ia termasuk
satu-satunya pengusaha sandal kebarepan yang bertahan hingga kini.
Setidaknya dalam satu bulan ia masih mampu melakukan penjualan di atas
angka Rp 100 juta.
Dengan sekitar 25 orang pekerja, perajin, dan penjahit ia harus
menyiapkan upah yang kisarannya Rp 7.500,00 sampai dengan Rp 20.000,00
per hari per orang.
“Kunci lainnya, saya harus benar-benar kreatif dan mengikuti
perkembangan. Produksinya tidak terbatas hanya mengandalkan sandal,
tetapi juga kebutuhan lainnya, seperti hiasan dinding, media kreatif
untuk anak, pelampung, bahkan kebutuhan masyarakat lain yang kesannya
ingin lebih spesifik, tertulis nama pemilik, alamat pemilik, atau
tanggal lahir dan bintang sekalipun. Kalau tidak kreatif begini, ya bisa
gulung tikar,” kata Wawan.
Bertahan untuk tidak gulung tikar, menurut Wawan, ternyata tidak
hanya cukup dengan terobosan baru dan kreatifitas yang terus menerus
diasah. Hal lain yang sulit dikejar adalah harga bahan baku. “Bahan baku
yang cenderung naik membuat pengusaha kesulitan. Meskipun ada dua
pilihan bahan baku, limbah plastik/karet dan orisinal dengan harga
diukur permili, tetap saja tidak membantu kami untuk mempertahankan
harga murah dengan kualitas baik. Harga sandal kebarepan yang kisarannya
antara Rp 1.600,00 per pasang sampai Rp 8.500,00 hingga saat ini masih
mampu kami pertahankan. Solusinya, saya membeli plastik/karet limbah
yang harganya antara Rp 4.500,00 sampai Rp 6.000,00 per kilo.”
Pengadaan bahan baku sampai saat ini dipenuhi dari wilayah Tangerang,
meskipun ada daerah lain yang mampu memproduksi, namun menurut Wawan,
harganya jauh lebih tinggi.
Pengusaha sandal kebarepan seperti Wawan, bisa jadi teruji karena ia
memiliki perhitungan yang matang dan tak terpengaruh dengan kejayaan
sesaat. Nyatanya, sampai saat ini ia mampu memenuhi pesanan dari
berbagai kota di luar wilayah Jawa, seperti Pontianak, Makasar, Manado,
Banjarmasin, dan Medan.
“Pesanan dari wilayah itu biasanya berupa sandal atau hiasan dinding
tertulis nama pemilik, bintang pemilik, atau bahkan alamat rumah. Insya
Allah meskipun pemasarannya masih tradisonal dan hubungan lewat telefon
kami masih bisa memenuhinya,” kata Wawan.
Itulah sebabnya Wawan sangat berharap, pemerintah daerah mampu
membuka akses marketing yang lebih terarah karena ternyata selama ini
home industry dan pengusaha sandal kebarepan tak tersentuh perhatian
dari pemerintah sekalipun hanya pemerintah daerah setempat. (sumber)
0 komentar:
Posting Komentar