Cirebon
bayak sejarah yang kita belum tau walau kita sendiri orang cirebon
:roll: dari jaman kejaman kesenian cirebon hampir punah dengan masuknya
budaya barat, disini mari kita menengok sejarah Kesenian sintren .
Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan
mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat
setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa
jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian
menjadi tradisi yang luhur.
Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan
mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka
bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekedar dijadikan
obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja
akan beraneka ragam.
Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa
Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi
sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri.
Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati
setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau
pada hajatan-hajatan orang gedean.
Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi
cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren
sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah
nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan
ini.
Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan
Cirebon, asal mula lahinrya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan
putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari
mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang
ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,”
ujar Juju.
Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan
Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan
pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang
luhur yang perlu dilestarikan.
Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan
keliling kampung untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil
keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan.
Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi obyek
mencari nafkah hidup.
HARUS GADIS
Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para
juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung,
sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah
liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton
benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu
penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,
Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda
belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis,
kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka
pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih
jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus
yang masih perawan,” katanya menegaskan.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki,
sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan
tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah
carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal
pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut
sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan
mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :
Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih
dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah
berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa
digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca
mata hitam.
Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang
berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu
uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren
akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.
Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa
melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan.
Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau
ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti
pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar
seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.
Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai
pertunjukan, mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas
panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar
dengan benda kecil.
Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang
Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih
optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan Sintren
yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren dan
benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran
tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.
Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di Cirebon belum
lama ini, kesenian Sintren sempat dipentaskan di lapangan terbuka
Kejaksan, Pertunjukan benar-benar menjadi perhatian masyarakat
setempat, publik seni dan para pengamat seni. Konon Sintren akan
dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002
mendatang, di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang
harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya,
terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren
menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan
tradisi nenek moyang kita.
Sayang sekali, di Cirebon hanya ada dua grup Sintren yang masih
eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang
beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cangkol Tengah (aslinya ditulis
cingkul padahal sebenarnya Cangkol, hehehe maklum putra daerah) , Gang
Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang
pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan menurut Ny. Juju sampai ke
luar negeri.
Di sisi lain tentu hal ini merupakan perkembangan yang bagus, namun
di sisi lain juga hal ini tantangan berat bagi pewaris Sintren untuk
tetap menjaga orsinilitasnya.